Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
DEFINISI MINTA-MINTA (MENGEMIS)
Minta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan,
baik kepada perorangan atau lembaga. Mengemis itu identik dengan
penampilan pakaian serba kumal, yang dijadikan sarana untuk
mengungkapkan kebutuhan apa adanya. Hal-hal yang mendorong seseorang
untuk mengemis –salah satu faktor penyebabnya- dikarenakan mudah dan
cepatnya hasil yang didapatkan. Cukup dengan mengulurkan tangan kepada
anggota masyarakat agar memberikan bantuan atau sumbangan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG SESEORANG UNTUK MENGEMIS DAN MINTA-MINTA
Ada banyak faktor yang mendorong seseorang mencari bantuan atau
sumbangan. Faktor-faktor tersebut ada yang bersifat permanen, dan ada
pula yang bersifat mendadak atau tak terduga. Contohnya adalah sebagai
berikut:
1. Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, dan kemiskinan yang dialami oleh
orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga
sehari-hari. Karena mereka memang tidak memiki gaji tetap,
santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan yang lain.
Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau keahlian
khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang. Sama
seperti mereka ialah anak-anak yatim, orang-orang yang menyandang
cacat, orang-orang yang menderita sakit menahun, janda-janda miskin,
orang-orang yang sudah lanjut usia sehingga tidak sanggup bekerja, dan
selainnya.
2. Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi oleh orang-orang yang
mengalami kerugian harta cukup besar. Contohnya seperti para pengusaha
yang tertimpa pailit (bangkrut) atau para pedagang yang jatuh bangkrut
atau para petani yang gagal panen secara total. Mereka ini juga
orang-orang yang memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan
ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa menghidupi keluarganya.
Apalagi jika mereka juga dililit hutang yang besar sehingga terkadang
sampai diadukan ke pengadilan.
3. Faktor musibah yang menimpa suatu keluarga atau masyarakat seperti
kebakaran, banjir, gempa, penyakit menular, dan lainnya sehingga mereka
terpaksa harus minta-minta.
4. Faktor-faktor yang datang belakangan tanpa disangka-sangka
sebelumnya. Contohnya seperti orang-orang yang secara mendadak harus
menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya,
menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, dan yang
semisalnya. Mereka ini juga adalah orang-orang yang membutuhkan
bantuan, dan biasanya tidak punya simpanan harta untuk membayar
tanggungannya tersebut tanpa uluran tangan dari orang lain yang kaya,
atau tanpa berusaha mencarinya sendiri walaupun dengan cara mengemis.
JENIS-JENIS PENGEMIS
Ketika kita membahas tentang fenomena pengemis dari kacamata kearifan,
hukum, dan keadilan, maka kita harus membagi kaum pengemis menjadi dua
kelompok:
1. Kelompok pengemis yang benar-benar membutuhkan bantuan
Secara riil (kenyataan hidup) yang ada para pengemis ini memang
benar-benar dalam keadaan menderita karena harus menghadapi kesulitan
mencari makan sehari-hari.
Sebagian besar mereka ialah justru orang-orang yang masih memiliki
harga diri dan ingin menjaga kehormatannya. Mereka tidak mau meminta
kepada orang lain dengan cara mendesak sambil mengiba-iba. Atau mereka
merasa malu menyandang predikat pengemis yang dianggap telah merusak
nama baik agama dan mengganggu nilai-nilai etika serta menyalahi
tradisi masyarakat di sekitarnya. Allah Ta’ala berfirman:
"(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang
(usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat
berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka
adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari
meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya,
mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang
baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [al-Baqarah/2
: 273].
2. Kelompok pengemis gadungan yang pintar memainkan sandiwara dan tipu muslihat
Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga
memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan
(mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang
strategis. Selain itu mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang
dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan
orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yang
mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang
tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang
mengemis dengan mengamen atau bermain musik yang jelas hukumnya haram,
ada juga yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan
lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia.
PANDANGAN SYARIAT TERHADAP MINTA-MINTA (MENGEMIS)
Islam tidak mensyari’atkan meminta-minta dengan berbohong dan menipu.
Alasannya bukan hanya karena melanggar dosa, tetapi juga karena
perbuatan tersebut dianggap mencemari perbuatan baik dan merampas hak
orang-orang miskin yang memang membutuhkan bantuan. Bahkan hal itu
merusak citra baik orang-orang miskin yang tidak mau minta-minta dan
orang-orang yang mencintai kebajikan. Karena mereka dimasukkan dalam
golongan orang-orang yang meminta bantuan. Padahal sebenarnya mereka
tidak berhak menerimanya, terlebih kalau sampai kedok mereka terungkap.
Banyak dalil yang menjelaskan haramnya meminta-minta dengan menipu dan
tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Diantara hadits-hadits tersebut
ialah sebagai berikut.
Hadits Pertama.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
"Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan
datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di
wajahnya".[1]
Hadits Kedua
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.
"Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api" [2].
Hadits Ketiga
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ
يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.
"Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya
dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas
suatu hal atau perkara yang sangat perlu" [3]
Bolehnya kita meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran.
Penguasa adalah orang yang memegang baitul maal harta kaum Muslimin.
Seseorang yang mengalami kesulitan, boleh meminta kepada penguasa
karena penguasalah yang bertanggung jawab atas semuanya.
Namun, tidak boleh sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan
hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Aku meminta
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau
memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ
أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ
بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ
يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ
السُّفْلَى.
"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa
mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya.
Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta),
maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang
yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi
ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas
(yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)".
Kemudian Hakîm berkata: "Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu
dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun
sesudahmu hingga aku meninggal dunia”.
Ketika Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu menjadi khalifah, ia memanggil
Hakîm Radhiyallahu 'anhu untuk memberikan suatu bagian yang berhak ia
terima. Namun, Hakîm tidak mau menerimanya, sebab ia telah berjanji
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika ‘Umar menjadi
khalifah, ia memanggil Hakîm untuk memberikan sesuatu namun ia juga
tidak mau menerimanya. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu
'anhu berkata di hadapan para sahabat: "Wahai kaum Muslimin! Aku
saksikan kepada kalian tentang Hakîm bin Hizâm, aku menawarkan
kepadanya haknya yang telah Allah berikan kepadanya melalui harta
rampasan ini (fa’i), namun ia tidak mau menerimanya. Dan Hakîm
Radhiyallahu 'anhu tidak mau menerima suatu apa pun dari seorang pun
setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ia meninggal
dunia”.[4]
Hadits ini menunjukkan tentang bolehnya meminta kepada penguasa. Akan
tetapi tidak boleh sering, seperti kejadian di atas, yaitu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati Hakîm bin Hizâm. Hadits ini
juga menerangkan tentang ta’affuf (memelihara diri dari meminta kepada
manusia) itu lebih baik. Sebab, Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu 'anhu pada
waktu itu tidak mau meminta dan tidak mau menerima.
ORANG-ORANG YANG DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu
'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ
ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ
اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ
قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ
قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ
الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ :
سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا
قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali
bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang
orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian
berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan
hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup,
dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga
orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa
kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran
hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah!
Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.[5]
KEUTAMAAN TIDAK MEMINTA-MINTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya menganjurkan kita
untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal
dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan
meminta-minta. Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri
dari minta-minta), sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam
firman-Nya.
"(Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang
(usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat
berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka
adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta).
Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta
secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu
infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [al-Baqarah/2 ayat 273].
Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى
ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.
"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat
kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga
dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik
baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya
atau tidak memberinya".[6]
Seseorang yang menjual kayu bakar yang ia ambil dari hutan adalah lebih
baik daripada ia harus meminta-minta kepada orang lain. Nabi n
menjelaskan jalan yang terbaik karena meminta kepada orang lain
hukumnya haram dalam Islam, baik mereka (orang yang dimintai sumbangan)
itu memberikan atau pun tidak. Tetapi yang terjadi pada sebagian kaum
muslimin dan thâlibul-‘ilmi (para penuntut ilmu) adalah meminta kepada
orang lain, dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa dan wajar.
Padahal, hal ini hukumnya haram dalam Islam. Jadi, yang terbaik ialah
kita mencari nafkah, kemudian setelah itu kita makan dari nafkah yang
kita dapat, baik sedikit maupun banyak, dan sesuatu yang kita dapat itu
lebih mulia daripada minta-minta kepada orang lain.
Seorang anak yang minta kepada kedua orang tuanya, atau orang tua
kepada anaknya, atau isteri kepada suaminya, ini tidak termasuk dalam
hadits ini. Karena, orang tua wajib memberikan nafkah kepada anaknya.
Jadi, kalau anak meminta kepada orang tuanya, tidak termasuk dalam
hadits ini, begitu pun sebaliknya. Karena pada hakikatnya harta anak
itu milik orang tuanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
أَنْتَ وَمَالُكَ ِلِأَبِيْكَ.
"Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu".[7]
Sebagian dari para sahabat adalah orang-orang miskin, tetapi mereka
tidak meminta-minta kepada orang lain walaupun mereka sangat
membutuhkan. Tetapi, orang-orang yang tidak mengetahui menyangka bahwa
mereka adalah orang-orang kaya disebabkan mereka menjaga kehormatan
diri mereka dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.
Orang yang paling berbahagia dan yang paling beruntung dalam hidup ini
adalah orang yang merasa cukup dengan apa yang Allah berikan.
Contohnya, orang yang hanya mendapat rizki Rp 5000,- (Lima ribu rupiah)
sehari, kemudian ia merasa cukup dengannya, maka ia adalah orang yang
paling beruntung dan bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan apa yang
Allah berikan kepadanya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.
"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup,
dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya".[8]
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ
فَاقَتُهُ ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ بِالْغِنَى:
إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.
"Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada
manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yang
mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya
salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang cepat atau kecukupan
yang cepat".[9]
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seorang yang mendapat kesulitan dan
kesusahan, namun ia selalu berharap kepada orang lain, maka
kefakirannya tidak akan tertutupi. Kita dapat saksikan betapa banyaknya
kaum Muslimin yang tertimpa musibah dan kesulitan mereka adukan
semuanya kepada orang lain, baik dengan mengatakan bahwa ia sedang
sakit atau sedang bangkrut usahanya atau selainnya. Tetapi, apabila
mereka sedang mendapatkan senang dan mendapat keuntungan, mereka tidak
mengadukannya kepada orang lain. Seseorang yang mengadukan kefakiran
dan kesulitannya agar orang lain merasa kasihan kepadanya, maka hal itu
tetap tidak akan menutup kefakirannya. Namun jika ia merasa cukup
dengan karunia yang Allah Ta’ala berikan, dan ia mengadukan segala
kesulitannya kepada Allah, maka Dia akan menutupi kefakirannya itu dan
akan menambah karunia yang telah diberikan-Nya kepadanya. Apabila Allah
Ta’ala mentakdirkan kita mengalami kesulitan, lalu kita adukan
kesulitan yang kita alami kepada Allah, maka Dia akan memberikan kepada
kita jalan keluar yang baik dan rizki, baik cepat maupun lambat.
Kita harus mengimani, memahami, dan mengamalkan hadits ini dalam
kehidupan kita. Kita harus yakin bahwa hanya Allah-lah yang mendengar
kesulitan kita. Adapun manusia, mereka tidak suka mendengar kesulitan
orang lain. Islam menganjurkan kita untuk berusaha, berdasarkan
ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan usaha ini tidak mengurangi waktu kita, baik dalam menuntut ilmu
maupun mengajar dan mendakwahkan ilmu.
KESIMPULAN
Ada beberapa poin yang dapat diambil sebagai kesimpulan dari pembahasan ini, di antaranya:
1. Harta yang kita peroleh dengan usaha kita sendiri adalah diberkahi.
2. Bila kita mengalami kesulitan, maka kita harus mengadukannya kepada Allah Ta’ala.
3. Dianjurkan untuk menjaga diri (ta’affuf), dan tidak meminta-minta kepada orang lain.
4. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaiat para sahabatnya, agar mereka tidak meminta-minta kepada orang lain.
5. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang para sahabat dan ummatnya untuk meminta-minta kepada orang lain.
6. Harta yang diperoleh dari minta-minta adalah tidak berkah.
7. Meminta-minta menghilangkan rasa malu.
8. Meminta-minta adalah perbuatan yang haram dan hina.
9. Harta hasil dari meminta-minta tanpa kebutuhan adalah haram.
10. Meminta-minta adalah cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya.
11. Orang yang meminta-minta kepada manusia tanpa kebutuhan, maka pada hari Kiamat tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.
12. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjamin dengan Surga bagi
siapa saja yang menjamin dirinya untuk tidak meminta-minta kepada orang
lain.
13. Orang yang meminta-minta berarti ia meminta bara api Neraka Jahannam.
14. Meminta-minta tidak akan dapat menutupi kefakiran seseorang.
15. Kita harus berputus asa terhadap apa yang dimiliki orang lain, dan hanya mengharapkan apa yang ada di Tangan Allah Ta’ala.
KHATIMAH
Di akhir pembahasan ini saya wasiatkan kepada kaum muslimin, para
penuntut ilmu, dan para dai agar menjaga kehormatan dirinya dengan
tidak minta-minta kepada orang dan tidak mengharap sesuatu kepada
manusia. Bagi pemilik harta hendaklah ia menginfakkannya pada jalan
yang disyariatkan. Bagi mereka yang fakir, hendaklah bersabar dan
memohon kecukupan kepada Allah. Dan kepada orang kaya yang tidak
mengeluarkan zakatnya -demikian pula para pengacau dakwah yang mencuri
harta orang lain untuk kepentingan kelompoknya- hendaklah mereka takut
akan siksa Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang yang bersyukur
dan qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dengan apa yang ada,
serta menahan diri dari minta-minta. Sesungguhnya Allah Mahadermawan,
Mahamulia.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, Sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dan akhir dari dakwah
ini ialah segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.
Marâji’:
1. Al-Qurâ`nul-Karim.
2. Al-Mustadrak.
3. Al-Mughamarat al-Mutamawwilin Baina al-Hajat wal Ihtirâf, karya Shâlih bin 'Abdullah al-Utsaimin.
4. Al-Mu’jamul-Kabir.
5. As-Sunan al-Kubra lin Nasâ`i.
6. At-Ta’liqatul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
7. Bahjatun-Nazhirin Syarh Riyadhush-Shâlihin, karya Syaikh Salim al-Hilali.
8. Dzammul Mas`alah, Ta’lif: Abu Abdirrahmân Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah .
9. Hilyatul-Auliyâ`.
10. Irwâ`ul-Ghalil.
11. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
12. Shahîh Bukhâri.
13. Shahîh Muslim.
14. Shahîh Jâmi’ush-Shaghîr.
15. Sunan Abu Dâwud.
16. Sunan ad-Dârimi.
17. Shahîh Ibnu Khuzaimah.
18. Sunan Ibnu Mâjah.
19. Sunan Nasâ`i.
20. Sunan Tirmidzi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun
XII/Ramadhan1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Muttafaqun ‘alaihi. HR al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (103)).
[2]. Shahîh. HR Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan
ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat
Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr, no. 6281.
[3]. Shahîh. At-Tirmidzi (no. 681), Abu Dawud (no. 1639), an-Nasâ`i
(V/100) dan dalam as-Sunanul-Kubra (no. 2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu
Hibbân (no. 3377 –at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul
Kabîr (VII/182-183, no. 6766-6772), dan Abu Nu’aim dalam
Hilyatul-Auliyâ` (VII/418, no. 11076).
[4]. Shahîh. Al-Bukhâri (no. 1472), Muslim (no. 1035), dan lainnya.
[5]. Shahîh. HR Muslim (no. 1044), Abu Dâwud (no. 1640), Ahmad
(III/477, V/60), an-Nasâ`i (V/89-90), ad-Dârimi (I/396), Ibnu Khuzaimah
(no. 2359, 2360, 2361, 2375), Ibnu Hibbân (no. 3280, 3386, 3387
–at-Ta’lîqtul-Hisân), dan selainnya.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1471, 2075).
[7]. Shahîh. HR Ibnu Mâjah (no. 2291) dari Jaabir bin ‘Abdillah
Radhiyallahu 'anhuma, dan ath-Thabrâni dalam Mu’jamul-Kabîr (VII/230,
no. 6961, X/81-82, no. 10019) dari Samurah dan Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu
'anhu. Lihat Irwâ`ul-Ghalîl (no. 838).
[8]. Shahîh. HR Muslim (no. 1054) dan lainnya, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu 'anhu.
[9]. Shahîh. HR Ahmad (I/389, 407, 442), Abu Dâwud (no. 1645),
at-Tirmidzi (no. 2326), dan al-Hâkim (I/408). Lafazh ini milik Abu
Dâwud.
Sumber ; http://almanhaj.or.id/content/2981/slash/0/hukum-meminta-minta-mengemis-menurut-syariat-islam/
20.29
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar